Sabtu, 28 November 2009

Cerpen: Kerikil-kerikil Cinta

Betapa berat melepas gadis itu, bagaimanapun juga Sheila sangat berarti dalam kehidupannya. Gadis itu membawa perubahan besar dalam hidupnya. Dan kini haruskah ia lepas?

Sheila dan Ardi tertegun di depan pintu, saat tiba-tiba saja seisi ruangan menghentikan aktivitasnya main band dan menatap tajam ke arah mereka berdua. Dengan kikuk Sheila mencoba tersenyum
dan segera duduk di kursi yang tersedia di sudut
ruangan. Adi langsung mengambil gitar yang tergeletak di samping Citra.

“Kenapa berhenti? Kalian marah karena aku datang
terlambat? Kita bisa mulai lagi kan?”
Ardi mulai memetik gitar dan memainkan intro sebuah lagu. Saat sadar teman-teman yang lain tidak mengimbangi permainannya. Ardi hanya tersenyum kecil. Ia paham mereka pasti kecewa karena dia datang terlambat.

“Dua jam tidak bisa dikatakan terlambat lagi. Aku
kecewa padamu. Demi seorang cewek kau mengorbankan waktu latihan kita! Sejak bersama Sheila kau mengesampingkan grup band kita. Dan kau seenaknya saja bilang terlambat!” celetuk Prast panjang lebar dengan nada sinis.

Sheila terkejut mendengar ucapan Prast yang tidak ia sangka. Aris, Citra, dan Agus yang berada di ruangan itu juga tampak terkejut mendengarnya. Muka Ardi merah padam, sedetik kemudian ia meletakkan gitarnya dan meninggalkan studio latihan. Anak-anak yang lain segera keluar menyusul. Sheila masih terpaku di tempatnya.

Prast terlihat memainkan stick drum-nya tanpa
ekspresi sedikit pun. Seolah-olah apa yang baru saja dikatakannya, sama sekali tidak membuat telinga merah. Sheila merasa kecewa sekali dengan ucapan Prast tadi. Tidak seharusnya Prast mempermalukan Ardi di hadapan anak-anak. Seharusnya cowok itu bisa memahami bagaimana perasaannya Adi, tidak asal bicara. Prast masih tidak bergeming. Menatapnya sekilas pun tidak ia lakukan. Dan itu sungguh membuat Sheila merasa tertekan. Prast tersenyum getir. Ia menghentikan aktivitasnya memainkan drum.

“Kau mengkhawatirkan perasaannya? Lalu bagaimana dengan perasaanku Shei? Pernahkah kau memikirkannya sedikit saja?” tuntut Prast membuat Sheila tak mampu mengatakan sepatah kata pun. Sheila menarik nafas perlahan. Seharusnya Prast bisa memahami posisinya bukan malah menyudutkannya. Namun apa yang dilakukannya?
“Kau tak bisa begitu saja menjadikanku sebagai
sampah. Saat merasa bimbang kau bisa membuangku, tapi begitu kau inginkan kau coba untuk meraihnya lagi!”
Sheila tak mampu menahan beban di hatinya selama tiga bulan ini. Hingga tercurahlah kata-kata itu. Kata-kata yang selama ini tak pernah ingin ia
sampaikan pada Prast. Sheila beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya keluar ruangan.
“Aku tak pernah menjadikanmu sampah di hatiku,” ucap Prast membuat langkah Sheila terhenti. Ucapan itu begitu lirih, namun Sheila mampu mendengarnya. Prast merasa semakin terluka, saat tanpa bicara Sheila kembali meneruskan langkahnya, meninggalkannya dalam kebimbangan.

Sheila merasa gelisah sekali malam ini, dan itu
karena semua kata-kata Prast padanya tadi siang.
Prast telah berubah, sama sekali berubah!. Salahkah dirinya bila sekarang ini lebih mementingkan keberadaan Ardi daripada Prast? Salahkah dirinya, bila cinta itu datang begitu saja tanpa ia mampu mengelak?.
Prast berdiri tepat di depan Sheila. Sheila melihat
sekeliling ruangan. Ia memang paling belakangan
pulang saat bel sudah berbunyi 10 menit yang lalu.

“Kenapa? Kau takut Ardi memergoki kita?” sinis Prast memaksa Sheila menatap tajam cowok itu, tepat di retina matanya. Cinta itu masihkah memberi warna pada mata elangnya?
“Aku cuma tak ingin Ardi punya prasangka buruk
terhadap kita!” tukas Sheila cepat.
“Aku janji tak akan lama,” ucap Prast akhirnya.
Sheila kembali duduk di bangkunya.
“Seberapa jauh hubungan kalian tiga bulan ini?” tanya Prast menyelidik, membuat Sheila mengerutkan keningnya. Ia jadi bingung dengan pertanyaan Prast.
Pertanyaan itu seolah-olah Prast ingin menghakiminya.
“Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk mendekati Ardi? Membantunya untuk lepas dari drugs!”
“Tapi aku tidak menyuruhmu untuk jatuh cinta
padanya!” balas Prast sinis membuat Sheila terkejut dengan nada bicara Prast yang naik satu oktaf lebih tinggi. Dijawab juga percuma! Sheila meraih tasnya dan beranjak pergi. Tapi langkah itu terhenti seketika, saat sesosok tubuh atletis berdiri di ambang pintu dengan tatap penuh tanda tanya.

“Apa yang sebenarnya pernah terjadi di antara kalian? Tidakkah aku berhak mencari tahu?” tanya Ardi. Sheila membalikkan badannya menghadap Prast. Matanya penuh harap menatap Prast. Berharap Prast tidak mengatakan apa-apa pada Ardi, tentang apa yang terjadi di antara mereka.
“Prast, kau sahabatku dan Sheila adalah cintaku.
Kalian berdua punya kedudukan penting dalam
kehidupanku. Aku menyayangi kalian,” Ardi masih
mencoba mencari tahu. Tanpa kata Prast beranjak
meninggalkan ruangan tanpa memedulikan pertanyaan yang dilontarkan Ardi. Ardi menatap punggung Prast dengan tanda tanya di hatinya. Kini tatapnya berganti ke arah Sheila. Gadis itu hanya mampu menunduk tanpa mengatakan apa-apa.
“Tolong jangan tatap aku seperti itu Di. Aku tahu aku salah. Jangan membuatku semakin merasa bersalah,” ucap Sheila getir.
Jangan pernah melepaskan orang yang telah membawa perubahan besar dalam hidupmu dan kau tahu Shei? Kaulah orang itu, kaulah dewi itu. Dan aku takkan pernah melepasmu. Setetes airmata membasahi kedua pipi Sheila saat mengingat ucapan Ardi 3 bulan yang lalu. Saat itu Ardi baru saja sembuh dari ketergantungannya pada drugs. Lima bulan yang lalu Ardi benar-benar sosok yang rapuh. Dan suatu hari Prast memintanya untuk mendekati Ardi, memberi perhatian dan kasih sayang. Tapi dalam usaha menjauhkan Adi dari drugs tidak disangka cinta akan datang menyusup di hatinya.

Padahal saat itu dia sedang menjalin cinta dengan
Prast. Memang hubungannya dengan Prast, tidak ada satu pun teman mereka yang tahu. Awal mula Prast memintanya untuk mendekati Ardi, Sheila sempat menolak. Tapi Prast terus memaksa dengan alasan Ardi sahabatnya dan ia tidak ingin Ardi semakin terjerumus. Dengan keyakinannya, Prast memastikan Ardi pasti akan meninggalkan drugs setelah mendapat perhatian yang tulus dari Sheila. Dan Prast memang benar, Ardi berhasil meninggalkan dunia drugs dan cintanya pada Sheila yang jadi pemacunya. Kalau mau jujur, pesona Ardi memang mampu membuat cinta Sheila
berpaling dari Prast. Dan salahkah dirinya bila
cintanya pada Prast sudah luntur saat dia memutuskan untuk mendampingi Ardi?
“Ardi kenapa kau lakukan ini?” Sheila masih mencoba mencari tahu. Ardi tersenyum getir, menatap gadis yang kini duduk di sampingnya. Betapa berat melepas gadis itu, bagaimanapun juga Sheila sangat berarti dalam kehidupannya. Gadis itu membawa perubahan besar dalam hidupnya. Dan kini haruskah ia lepas? Dia memang salah memasuki ruang di antara mereka berdua. Dia menjadi penghalang bagi cinta Sheila dan Prast.
Sungguh Ardi takkan pernah sanggup, menjadi benalu pada pohon yang telah memberinya tempat untuk hidup. Dan dia telah memutuskan untuk pergi dari sisi Sheila, walaupun itu akan terasa pahit bagi hati dan pikirannya.

Tapi harus bagaimana lagi? Ia tak ingin melukai
perasaan Prast, walaupun besar rasa cintanya pada Sheila.
“Ini nggak adil! Aku tulus mencintaimu! Memang aku pernah punya kenangan dengan Prast. Tapi itu sudah menjadi bagian dari masa lalu!” tegas Sheila memberi keyakinan.
“Benarkah? Lalu apakah aku pantas disebut sebagai sahabat? Bahagia dengan cintaku, sementara hati sahabatku terluka? Apa kata orang nanti?” ucap Ardi tapi hanya dalam hati. Ia tidak ingin semakin melukai Sheila. Walaupun hatinya sekarang ini benar-benar terpuruk.
Kini Ardi telah meninggalkan mereka berdua menempuh jalannya sendiri. Tapi mengapa Sheila belum mampu melupakan Ardi? Dan Prast tak pernah mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang menyelubungi hatinya.
“Tidak bisakah kita renda kembali tali kasih kita?”
tanya Prast penuh asa. Sheila menggeleng lemah.
Perlahan kepalanya terangkat dan matanya menatap Prast pedih.
“Aku tak bisa lagi mencintaimu. Cinta itu entah kapan telah berlalu dari hatiku.”
“Tapi kalian juga tak mungkin bersama lagi! Ardi
telah meninggalkanmu, tidakkah itu cukup sebagai
alasan agar kau melupakan dia?”
“Tidak peduli dia ada di mana, aku akan tetap
menunggunya. Aku yakin dia akan berlabuh di hatiku.”
Pedih! Itu yang dirasakan Prast saat dengan tegas
Sheila mengucapkan semua itu. Jika memang itu
keputusan Sheila, berhakkah dia melarangnya?
Cinta datang tanpa diminta pergi pun tanpa kita tahu. Walau jalan cinta penuh dengan kerikil-kerikil tajam, tapi banyak yang berhasil melaluinya. Dan Prast punya harapan yang begitu besar. Berharap suatu saat nanti, Sheila mampu menghilangkan kerikil-kerikil tajam itu untuk mendapatkan cinta sejatinya.




Judul Cerpen : Kerikil-kerikil Cinta
Pengrang : Muktiar Selawati
Sumber : www.anekayess-online.com
Tanggal : 26 November 2009
Jumlah Kata yang Salah : 0 (Tidak Ada)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar